BAB I
PENDAHULUAN
LATAR
BELAKANG
Perjalanan Indonesia
dalam mencapai kemerdekaan sangatlah panjang. Butuh perjuangan yang panjang
untuk dapat merdeka. Berbagai peristiwa telah terjadi. Peristiwa itu telah
menjadi sebuah warisan yang pada saat ini kita diharapkan dapat
menggali,menganalisa,mengumpulkan, sehinga menjadi sebuah catatan yang berharga
dalam menjalani kehidupan berbangsa dan bernegara yang baik.
Peristiwa sekitar proklamasi dalam makalah ini menceritakan bagaimana perjuangan para tokoh bangsa yang sangat bersemangat dalam memproklamirkan kemerdekaannya. Sehingga mencapai sebuah kebebasan dalam Negara.
Peristiwa ini
merupakan peristiwa yang harus diingat sepanjang masa oleh rakyat Indonesia
sendiri. Dimana kita akan selalu mengenang jasa-jasa para pahlawan dalam
memerdekakakn Negara Indonesia. Oleh karna itu, sebagai rakyat hedaknya kita
menjadikan peristiwa ini menjadi inspirasi dalam menegakkan Indonesia yang
merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
RUMUSAN
MASALAH
1.
Bagaimana
proses pembentukan BPUPKI dan PPKI?
2.
Apa
maksud peristiwa Rengasdengklok?
3.
Seperti
apa perumusan Teks Proklamasi?
4.
Bagaimana
detik-detik Proklamasi?
5.
Bagaimana
reaksi rakyat Indonesia?
6.
Seperti
apa cara penyebarluasan berita Proklamasi?
7.
Bagaimana
kehidupan politik seteleh Proklamasi?
TUJUAN
PENULISAN
1.
Untuk
mengetahui proses pembentukan BPUPKI dan PPKI.
2.
Untuk
mengetahui peristiwa penting yang terjadi sekitar proklamasi.
3.
Untuk
mengetahui perumusan teks proklamasi.
4.
Untuk
mengetahui cara penyebarluasan berita proklamasi.
5.
Untuk
mengetahui kehidupan politik yang terjadi setelah adanya proklamasi.
BAB II
PEMBAHASAN
BPUPKI
Badan Penyelidik
UsahaUsaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada 1 Maret 1945. Badan
itu dibentuk untuk menyelidiki dan mengumpulkan bahan-bahan penting tentang
ekonomi, politik, dan tatanan pemerintahan sebagai persiapan kemerdekaan
Indonesia. Badan itu diketuai oleh Dr. K.R.T. Radjiman Wedyodiningrat, R.P
Suroso sebagai wakil ketua merangkap kepala Tata Usaha dan seorang Jepang
sebagai wakilnya Tata Usaha, yaitu Masuda Toyohiko dan Mr. R. M. Abdul Gafar
Pringgodigdo. Semua anggotanya terdiri dari 60 orang dari tokoh-tokoh
Indonesia, ditambah tujuh orang Jepang yang tidak punya suara.
Sidang BPUPKI dilakukan dua tahap, tahap pertama berlangsung pada 28 Mei
1945 sampai 1 Juni 1945. Sidang pertama tersebut dilakukan di Gedung Chou Shangi In di Jakarta yang
sekarang dikenal sebagai Gedung Pancasila. Meskipun badan itu dibentuk oleh pemerintah
militer Jepang, jalannya persidangan baik wakil ketua maupun anggota istimewa
dari kebangsaan Jepang tidak pernah terlibat dalam pembicaraan persiapan
kemerdekaan. Semua hal yang berkaitan dengan masalah-masalah kemerdekaan
Indonesia merupakan urusan pemimpin dan anggota dari Indonesia.
Pada pidato sidang BPUPKI,Radjiman menyampaikan pokok persoalan mengenai
Dasar Negara Indonesia yang akan dibentuk. Pada siding tahap kedua yang
berlangsung dari tanggal 10-11 Juni 1945, dibahas dan dirumuskan tentang
Undang-Undang Dasar. Dalam kata pembukaannya Rajiman Wedyodiningrat meminta
pandangan kepada para anggota mengenai dasar negara Indonesia. Orang-orang yang
membahas mengenai dasar negara adalah Muhammad Yamin, Supomo, dan Sukarno.
Dalam sidang pertama, Sukarno mendapat kesempatan berbicara dua kali,
yaitu tanggal 31 Mei dan 1 Juni 1945. Namun pada saat itu, seperti apa yang
disampaikan oleh Radjiman, selama dua hari berlangsung rapat, belum ada yang
menyampaikan pidato tentang dasar negara. Menanggapi hal itu, pada tanggal 1
Juni pukul 11.00 WIB, Sukarno menyampaikan pidato pentingnya. Dalam
pidatonya, Sukarno mengusulkan dasar-dasar negara. Pada mulanya Sukarno
mengusulkan Panca Dharma. Nama Panca Dharma dianggap tidak tepat, karena Dharma
berarti kewajiban, sedangkan yang dimaksudkan adalah dasar. Sukarno
kemudianmeminta saran pada seorang teman, yaitu Muh. Yamin yang merupakan ahli
bahasa, selanjutnya dinamakan Pancasila. Sila artinya azas atau dasar, dan di
atas kelima dasar itu didirikan Negara Indonesia, supaya kekal dan abadi.
Pidato Sukarno itu mendapat sambutan sangat meriah, tepukan tangan para
peserta, suatu sambutan yang belum pernah terjadi selama persidangan BPUPKI.
Para wartawan mencatat sambutan yang diucapkan Sukarno itu dengan cermat. Cindy
Adam, penulis buku autobiograf Sukarno, menceritakan bahwa ketika ia diasingkan
di Ende, Flores (saat ini menjadi Propinsi Nusa Tenggara Timur) pada tahun
1934-1937, Sukarno sering merenung tentang dasar negara Indonesia Merdeka, di
bawah pohon sukun. Pada kesempatan tersebut Ir. Sukarno juga menjadi pembicara
kedua. Ia mengemukakan tentang lima dasar negara. Lima dasar itu adalah (1)
Kebangsaan Indonesia, (2) Internasionalisme atau Peri Kemanusiaan, (3) Mufakat
atau Demokrasi, (4) Kesejahteraan Sosial, (5) Ketuhanan Yang Maha Esa. Pidato
itu kemudian dikenal dengan Pancasila .
Sementara itu Muh.Yamin dalam pidatonya juga mengemukakan
Azas dan Dasar Negara Kebangsaan Republik Indonesia. Menurut Yamin ada lima
azas, yaitu ( 1) Peri Kebangsaan, (2) Peri Kemanusian, (3) Peri Ketuhanan, (4)
Peri Kerakyatan, dan (5) Kesejahteraan rakyat. Selanjutnya, sebelum sidang
pertama berakhir BPUPKI membentuk panitia kecil yang terdiri dari sembilan
orang. Pembentukan panitia sembilan itu bertujuan untuk merumuskan tujuan dan
maksud didirikannya Negara Indonesia. Panitia kecil itu terdiri atas, Ir.
Sukarno, Drs Muh. Yamin, Mr. Ahmad Subardjo, Mr. A.A Maramis, Abdul Kahar
Muzakkar, Wahid Hasyim, H. Agus Salim, dan Abikusno Cokrosuyoso.
Panitia kecil itu menghasilkan rumusan yang menggambarkan maksud dan tujuan
Indonesia Merdeka. Kemudian disusunlah rumusan bersama dasar negara Indonesia
Merdeka yang kita kenal dengan Piagam Jakarta.
PPKI
BPUKPI kemudian dibubarkan setelah tugas-tugasnya selesai. Selanjutnya
dibentuklah Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada 7 Agustus 1945.
Badan itu beranggotakan 21 orang, yang terdiri dari 12 orang wakil dari Jawa,
tiga orang wakil dari Sumatera, dan dua orang dari Sulawesi dan masing-masing
satu orang dari Kalimantan, Sunda Kecil, Maluku, dan golongan penduduk Cina,
ditambah enam orang tanpa izin dari pihak Jepang. Panitia inilah yang kemudian
mengesahkan Piagam Jakarta sebagai pendahuluan dalam pembukaan Undang-Undang
Dasar 1945, 18 Agustus 1945.
·
Dibentuk:
7 agustus 1945 atas usulan Jendral terauchi.
·
Tugas
PPKI : mempersiapkan segala sesuatu yang berkaitan dengan pemindahan kekuasaan
dari jepang ke Indonesia dan menetapkan UUD 1945.
·
PPKI
mengadakan siding sebanyak dua kali. Sidang pertama pada tanggal 18 Agustus
1945. Hasilnya adalah sebagai berikut
·
Menetapkan
UUD 1945
·
Memilih
Ir. Sukarno sebagai presiden dan Mr. Moh Hatta sebagai wakil presiden
·
Untuk
sementara tugas presiden dibantu oleh Komite Nasional sebelum terbentuknya MPR
Pada sidang ini,
dilakukan pengesahan dasar Negara yang sebelumnya dirumuskan oleh panitia
Sembilan. Pengesahan ini dilakukan dengan mencoret/mengganti bunyi sila pertama
“ Dengan kewajiban menjalankan syariat islam bagi pemeluk – pemeluknya” menjadi
“ Ketuhana yang maha esa”
Pada tanggal 19
Agustus 1945, PPKI melaksanakan sidang keduanya yang menghasilkan dua buah
keputusan, yaitu :
·
Menetapkan
12 kementrian dalam lingkungan pemerintahan yaitu, Kementrian Dalam Negeri,
Luar Negeri, Kehakiman, Keuangan, Kemakmuran, Kesehatan, Pengajaran, Sosial,
Pertahanan, Penerangan, Perhubungan, dan Pekerjaan Umum.
·
Membagi
daerah Republik Indonesia dalam 8 provinsi, yaitu Sumatra, Jawa Barat, Jawa
Tengah, Jawa Timur, Sunda Kecil, Maluku, Sulawesi, dan Kalimantan.
Dan pada akhirnya,
PPKI mengadakan sidangnya yang ketiga pada tanggal 22 Agustus 1945 dan berhasil
mengambil keputusan untuk membentuk Komita Nasional Indonesia Pusat dan Daerah,
Partai Nasional Indonesia, serta Badan Keamanan Rakyat.
Pada sidang pertama
PPKI rancangan UUD hasil kerja BPUPKI dibahas kembali. Pada pembahasannya
terdapat usul perubahan yang dilontarkan kelompok Hatta. Mereka mengusulkan dua
perubahan.
Pertama, berkaitan
dengan sila pertama yang semula berbunyi ”Ketuhanan dengan kewajiban
menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” diubah menjadi ”Ketuhanan
Yang Maha Esa”. Kedua, Bab II UUD Pasal 6 yang semula berbunyi ”Presiden ialah
orang Indonesia yang beragama Islam” diubah menjadi ”Presiden ialah orang Indonesia
asli”. Semua usulan itu diterima peserta sidang. Hal itu menunjukkan mereka
sangat memperhatikan persatuan dan kesatuan bangsa. Rancangan hukum dasar yang
diterima BPUPKI pada tanggal 17 Juli 1945 setelah disempurnakan oleh PPKI
disahkan sebagai Undang-Undang Dasar Negara Indonesia. UUD itu kemudian dikenal
sebagai UUD 1945. Keberadaan UUD 1945 diumumkan dalam berita Republik Indonesia
Tahun ke-2 No. 7 Tahun 1946 pada halaman 45–48.
·
Pembukaan
(mukadimah) UUD 1945 terdiri atas empat alinea. Pada Alenia ke-4 UUD 1945
tercantum Pancasila sebagai dasar negara yang berbunyi sebagai berikut.
·
Batang
tubuh UUD 1945 terdiri atas 16 bab, 37 pasal, 4 pasal aturan peralihan, dan 2
ayat aturan tambahan
·
Penjelasan
UUD 1945 terdiri atas penjelasan umum dan penjelasan pasal demi pasal.
Susunan dan rumusan
Pancasila yang terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 merupakan perjanjian seluruh
bangsa Indonesia. Oleh karena itu, mulai saat itu bangsa Indonesia membulatkan
tekad menjadikan Pancasila sebagai dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia.
PERISTIWA RENGASDENGKLOK
Hari-hari menjelang
tanggal 15 Agustus 1945 merupakan hari yang menegangkan bagi bangsa Jepang dan
bangsa Indonesia. Bagi bangsa Jepang, tanggal tersebut merupakan titik akhir
nyali mereka dalam melanjutkan PD II. Menyerah kepada Sekutu adalah pilihan yang
sangat pahit tetapi harus dilakukan. Bagi bangsa Indonesia, tanggal tersebut
justru menjadi kesempatan baik untuk mempercepat proklamasi kemerdekaan.Inilah
yang menjadi pemikiran utama para pemuda atau sering disebut Golongan Muda kaum
pergerakan Indonesia. Para pemuda berpikir, bahwa menyerahnya Jepang kepada
Sekutu, berarti di Indonesia sedang kosong kekuasaan. Proklamasi dipercepat
adalah pilihan yang tepat.
Para pejuang terutama
kaum muda yang melancarkan gerakan “bawah tanah” segera mengetahui berita
penyerahan Jepang itu. Para pemuda mendesak para tokoh senior untuk segera
memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Sutan Syahrir yang merupakan tokoh
pemuda telah mengetahui berita penyerahan Jepang kepada Sekutu dari siaran
radio. Oleh karena itu, ia segera menemui Moh. Hatta di kediamanya. Syahrir
mendesak agar Sukarno dan Moh. Hatta segera memerdekakan Indonesia. Namun,
ternyata Sukarno dan Moh. Hatta belum bersedia, mereka akan mengonfrmasi
terlebih dulu mengenai kebenaran berita tersebut.
Sebagai tokoh-tokoh
yang demokratis, tahu hak dan kewajiban selaku pemimpin, kedua tokoh itu
berpendapat bahwa untuk memproklamasikan Kemerdekaan Indonesia, perlu
dibicarakan dengan
PPKI agar tidak menyimpang dari ketentuan. Akan tetapi, para pemuda berpendapat
bahwa proklamasi Kemerdekaan Indonesia harus dilaksanakan oleh kekuatan bangsa sendiri, bukan oleh
PPKI. Menurut para pemuda, PPKI itu buatan Jepang.
Hari Rabu tanggal 15 Agustus 1945 sekitar
pukul 22.00 WIB, para pemuda yang dipimpin Wikana, Sukarni, dan Darwis datang
di rumah Sukarno di Pegangsaan Timur No. 56 Jakarta. Wikana dan Darwis memaksa
Sukarno untuk memproklamasikan Kemerdekaan Indonesia. Para pemuda mendesak agar
proklamasi dilaksanakan paling lambat tanggal 16 Agustus 1945. Sukarno marah,
sambil menunjuk lehernya ia berkata, “Ini goroklah leherku, saudara boleh
membunuh saya sekarang juga. Saya tidak bisa melepas tanggung jawab saya
sebagai ketua PPKI, karena itu akan saya tanyakan kepada wakil-wakil PPKI
besok”. Ketegangan terjadi di rumah Sukarno. Hal ini juga
disaksikan antara lain oleh Moh. Hatta, dr. Buntaran, Ahmad Subarjo, dan lwa
Kusumasumantri.
Para pemuda gagal memaksa Sukarno dan golongan tua untuk segera
memproklamasikan kemerdekaan. Para pemuda malam itu sekitar pukul 24.00 tanggal
15 Agustus mengadakan pertemuan di Jl Cikini 71 Jakarta. Para pemuda yang
hadir, antara lain Sukarni, Yusuf Kunto, Chaerul Saleh, dan Shodanco Singgih. Mereka
sepakat untuk membawa Sukarno dan Moh. Hatta ke luar kota. Tujuannya, agar
kedua tokoh ini jauh dari pengaruh Jepang dan bersedia memproklamasikan
kemerdekaan Indonesia. Para pemuda juga sepakat menunjuk Shodanco Singgih untuk
memimpin pelaksanaan rencana tersebut.
Untuk melaksanakan tugas, Singgih mendapat pinjaman
beberapa perlengkapan dari markas Peta di Jaga Monyet. Waktu itu yang piket di
markas Peta adalah Latif Hendraningrat. Singgih disertai pengemudi, Sampun dan
penembak mahir Sutrisno bersama Sukarni, Wikana, dan dr. Muwardi menuju ke
rumah Moh.Hatta. Singgih secara singkat minta kesediaan Moh. Hatta untuk ikut
ke luar kota. Moh. Hatta menuruti kehendak para pemuda itu. Rombongan kemudian
menuju ke rumah Sukarno. Tiba di
rumah Sukarno, Singgih meminta agar Sukarno ikut pergi ke
luar kota saat itu juga. Sukarno setuju, asal Fatmawati, Guntur (waktu itu
berusia sekitar delapan bulan) dan Moh. Hatta ikut serta. Tanggal 16 Agustus
sekitar pukul 04.00 pagi rombongan Sukarno, Moh. Hatta, dan para pemuda menuju
Rengasdengklok.
Dipilih daerah Kawedanan Rengasdengklok, karena daerah itu terpencil
yaitu 15 km dari Kedunggede, Karawang. Selain itu, juga ada hubungan baik
antara Daidan Peta Purwakarta dan Daidan Jakarta, sehingga dari segi keamanan
terjamin. Pagi hari rombongan Sukarno sampai di Rengasdengklok. Mereka diterima
oleh Shodanco Subeno dan Affan. Mereka ditempatkan di rumah Kie Song
yang simpati pada perjuangan bangsa Indonesia.
Sehari di Rengasdengklok, ternyata gagal memaksa Sukarno untuk
menyatakan kemerdekaan Indonesia lepas dari campur tangan Jepang. Namun, ada
gelagat yang ditangkap oleh Singgih bahwa Sukarno bersedia memproklamasikan
kemerdekaan Indonesia kalau sudah kembali ke Jakarta. Melihat tanda-tanda bahwa
Sukarno bersedia memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, maka sekitar pukul
10.00 bendera Merah Putih dikibarkan di halaman Kawedanan Rengasdengklok.
Jakarta berada dalam keadaan tegang karena tanggal 16 Agustus 1945
seharusnya diadakan pertemuan PPKI, tetapi Sukarno dan Moh. Hatta tidak ada di
tempat. Ahmad Subarjo segera mencari kedua tokoh tersebut. Akhirnya setelah
terjadi kesepakatan dengan Wikana, Ahmad Subarjo ditunjukkan dan diantarkan ke
Rengasdengklok oleh Yusuf Kunto.
Ahmad Subarjo tiba di Rengasdengklok pukul 17.30 WIB untuk menjemput
Sukarno dan rombongan. Kecurigaan pun menyelimuti perasaan para pemuda yang
bertemu dengan Ahmad Subarjo. Akhirnya Ahmad Subarjo memberikan jaminan.
Apabila besok (tanggal 17 Agustus) paling lambat pukul 12.00, belum ada
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, taruhannya nyawa Ahmad Subarjo. Dengan
jaminan itu, maka Shodanco Subeno mewakili para pemuda mengizinkan Ir.
Sukarno, Drs. Moh. Hatta, dan rombongan kembali ke Jakarta. Petang itu juga
Sukarno dan rombongan kembali ke Jakarta. Dengan demikian berakhirlah peristiwa
Rengasdengklok.
PERUMUSAN TEKS PROKLAMASI
Rombongan kemudian
menuju kediaman Nishimura di Jakarta. Kepada Nishimura, Sukarno menyampaikan
rencana rapat persiapan pelaksanaan kemerdekaan Indonesia. Nishimura menolak
memberi bantuan dengan alasan sudah mendapat perintah dari pihak Serikat untuk
tidak mengubah status dan keadaan di Indonesia. Dengan jawaban tersebut Sukarno
berkesimpulan bahwa tidak mungkin lagi mengharap bantuan Jepang.
Rombongan Sukarno
segera kembali ke rumah Laksamana Maeda di Jalan Imam Bonjol No. 1. Para
tokohtokoh nasionalis berkumpul di rumah Maeda untuk merumuskan teks
proklamasi. Di rumah Maeda,
hadir para anggota PPKI, para pemimpin pemuda, para pemimpin pergerakan, dan
beberapa anggota
Chuo Sangi In yang ada di Jakarta. Mereka berjumlah 40 - 50 orang.
Rumah Laksamana Maeda itu dianggap aman dari kemungkinan gangguan yang
sewenang-wenang
dari anggota-anggota Rikugun (Angkatan Darat Jepang/Kampeitai)
yang hendak menggagalkan usaha bangsa Indonesia untuk mengumumkan Proklamasi
Kemerdekaannya. Oleh karena Laksamana Maeda adalah Kepala Perwakilan Kaigun, maka
rumahnya merupakan extra-territorial, yang harus dihormati oleh Rikugun. Selain
itu, Laksamana Maeda sendiri memiliki hubungan yang akrab dengan para pemimpin
bangsa Indonesia, dan Maeda juga simpatik terhdap gerakan kemerdekaan
Indonesia, maka rumah beliau direlakan menjadi tempat pertemuan para pemimpin
bangsa Indonesia untuk berunding dan
merumuskan naskah/teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.
Setelah tiba di Jl. Imam Bonjol No. 1, lalu Sukarno dan Moh. Hatta
diantarkan Laksamana Maeda menemui Gunseikan Mayor Jenderal Hoichi
Yamamoto (Kepala Pemerintahan Militer Jepang). Akan tetapi Gunseikan menolak menerima
Sukarno-Hatta pada tengah malam. Dengan ditemani oleh Maeda, Shigetada
Nishijima dan Tomegoro Yoshizumi serta Miyoshi sebagai penterjemah, mereka
pergi menemui Somubuco Mayor Jenderal Otoshi Nishimura
(Direktur/Kepala Departemen Umum Pemerintahan Militer Jepang), dengan maksud
untuk menjajaki sikapnya terhadap pelaksanaan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.
Pada pertemuan tersebut tidak dicapai kata sepakat antara Sukarno-Hatta
di satu pihak dengan Nishimura di lain pihak. Di satu pihak SukarnoHatta
bertekad untuk melangsungkan rapat PPKI yang pada pagi hari
tanggal 16 Agustus 1945 itu tidak jadi diadakan karena
mereka dibawa ke Rengasdengklok. Mereka menekankan kepada Nishimura bahwa
Jenderal Besar Terauchi telah menyerahkan pelaksanaan Proklamasi Kemerdekaan
Indonesia kepada PPKI. Di lain pihak Nishimura menegaskan garis kebijakan
Panglima Tentara ke-XVI di Jawa, bahwa dengan menyerahnya
Jepang kepada Sekutu berlaku ketentuan bahwa tentara Jepang tidak diperbolehkan
lagi mengubah status quo.
Berdasarkan garis kebijaksanaan itu, Nishimura melarang
Sukarno-Hatta untuk mengadakan rapat PPKI dalam rangka pelaksanaan Proklamasi
Kemerdekaan. Sampailah Sukarno-Hatta pada kesimpulan bahwa tidak ada gunanya
lagi untuk membicarakan soal kemerdekaan Indonesia dengan pihak Jepang. Mereka
hanya berharap pihak Jepang supaya tidak menghalanghalangi pelaksanaan
Proklamasi oleh rakyat Indonesia sendiri.
Setelah pertemuan itu, Sukarno dan Hatta kembali ke rumah Maeda. Setelah
berbicara sebentar dengan Sukarno, Moh. Hatta dan Ahmad Subarjo, Laksamana
Maeda minta diri untuk beristirahat dan mempersilakan para pemimpin Indonesia
berunding sampai puas di rumahnya. Di ruang makan Maeda, dirumuskanlah naskah
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Ketika peristiwa itu berlangsung Maeda tidak
hadir, tetapi Miyoshi sebagai orang kepercayaan Nishimura bersama Sukarni,
Sudiro, dan B.M. Diah menyaksikan Sukarno, Hatta, dan Ahmad Subarjo membahas
perumusan naskah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.
Sukarno pertama kali menuliskan kata pernyataan
“Proklamasi”. Sukarno kemudian bertanya kepada Moh. Hatta dan Ahmad
Subarjo.“Bagaimana bunyi rancangan pada draf pembukaan UUD? Kedua orang yang
ditanya pun tidak ingat persis. Ahmad Subarjo kemudian menyampaikan kalimat
“Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia”. Moh. Hatta
menambahkan kalimat: “Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain
diselenggarakan dengan cara saksama dan dalam tempoh yang sesingkat-singkatnya”. Sukarno menuliskan, “Jakarta,
17-8-’05 Wakil-wakil bangsa Indonesia”, sebagai penutup.
Pukul 04.00 WIB dini hari, Sukarno minta persetujuan dan minta tanda
tangan kepada semua yang hadir sebagai wakil-wakil bangsa Indonesia. Para
pemuda menolak dengan alasan sebagian yang hadir banyak yang menjadi
kolaborator Jepang. Sukarni mengusulkan agar teks proklamasi cukup
ditandatangani dua orang tokoh, yakni Sukarno dan Moh. Hatta, atas nama bangsa
Indonesia. Usul Sukarni diterima. Dengan beberapa perubahan yang telah
disetujui, maka konsep itu kemudian diserahkan kepada Sayuti Melik untuk
diketik.
Demikian pertemuan dini hari itu menghasilkan naskah Proklamasi. Agar
seluruh rakyat Indonesia mengetahuinya, naskah itu harus disebarluaskan.
Timbullah persoalan tentang bagaimana caranya naskah tersebut disebarluaskan ke
seluruh Indonesia. Sukarni mengusulkan agar naskah tersebut dibacakan di
Lapangan Ikada, yang telah dipersiapkan bagi berkumpulnya masyarakat Jakarta
untuk mendengar pembacaan naskah Proklamasi. Tetapi Sukarno tidak setuju,
karena tempat itu adalah tempat umum yang dapat memancing bentrokan antara
rakyat dengan militer Jepang. Beliau sendiri mengusulkan agar Proklamasi
dilakukan di rumahnya di Jalan Pegangsaan Timur No.56. Usul tersebut disetujui
dan naskah. Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dibacakannya bersama Hatta di
tempat itu pada hari Jumat tanggal 17 Agustus 1945 pukul 10.00 di tengah-tengah
bulan Ramadhan (bulan Puasa)
DETIK-DETIK PROKLAMASI
Pada pukul 5 pagi tanggal 17 Agustus 1945, para pemimpin dan pemuda
keluar dari rumah Laksamana Maeda dengan diliputi kebanggaan. Mereka telah sepakat
untuk memproklamasikan kemerdekaan di rumah Sukarno di Jl. Pegangsaan Timur No.
56 pada pukul 10 pagi. Sebelum pulang, Moh. Hatta
berpesan kepada B.M. Diah untuk memperbanyak teks Proklamasi dan menyiarkannya
ke seluruh dunia. Sementara itu, para pemuda
tidak langsung pulang, mereka melakukan kegiatan-kegiatan untuk penyelenggaraan
pembacaan naskah Proklamasi.
Masing-masing kelompok pemuda mengirim kurir untuk
memberitahukan kepada masyarakat bahwa saat Proklamasi telah tiba. Semua alat
komunikasidigunakan untuk penyambutan Proklamasi. Pamflet, pengeras suara, dan
mobil-mobil dikerahkan ke segenap penjuru kota. Tanpa diduga, pada hari itu
barisan pemuda berbondong-bondong menuju Lapangan Ikada. Para pemuda datang ke
tempat itu, karena informasi yang disampaikan dari mulut ke mulut bahwa
Proklamasi akan diselenggarakan di Lapangan Ikada. Rupanya Jepang telah mencium
kegiatan para pemuda malam itu, sehingga mereka berusaha untuk
menghalang-halanginya. Lapangan Ikada telah dijaga oleh Pasukan Jepang yang bersenjata
lengkap. Ternyata Proklamasi
tidak diselenggarakan di Lapangan Ikada, melainkan di Pegangsaan Timur No. 56.
Pada pagi hari itu juga, rumah Sukarno dipadati oleh sejumlah massa.
Untuk menjaga keamanan upacara pembacaan Proklamasi, dr. Muwardi meminta Latief
Hendraningrat beserta beberapa anak buahnya untuk berjagajaga di sekitar rumah
Sukarno. Sementara itu, Walikota Jakarta, Suwiryo memerintahkan kepada Wilopo
untuk mempersiapkan peralatan yang diperlukan seperti mikrofon. Sedangkan
Sudiro memerintahkan kepada S. Suhud untuk menyiapkan tiang bendera. S. Suhud
mendapatkan bendera Merah Putih dari Ibu
Fatmawati. Bendera dijahit Ibu Fatmawati sendiri dan ukurannya sangat besar
(tidak standar). Bendera Merah Putih yang dijahit Fatmawati dikenal dengan
bendera pusaka. Sejak tahun 1969 tidak lagi dikibarkan dan diganti dengan
bendera duplikat.
Sejak pagi hari, sudah banyak orang berdatangan di rumah Sukarno di Jl.
Pegangsaan Timur No. 56. Tokoh-tokoh yang sudah hadir, antara lain Mr. A. A.
Maramis, dr. Buntaran Martoatmojo, Mr. Latuharhary, Abikusno Cokrosuyoso, Otto
Iskandardinata, Ki Hajar Dewantoro, Sam Ratulangie, Sartono, Sayuti Melik,
Pandu Kartawiguna, M. Tabrani, dr. Muwardi, Ny. SK. Trimurti, dan AG.
Pringgodigdo. Diperkirakan yang hadir pada pagi itu seluruhnya ada 1.000 orang.
Acara yang direncanakan pada upacara bersejarah itu adalah; pertama pembacaan teks
proklamasi; kedua, pengibaran bendera Merah Putih; dan ketiga, sambutan walikota
Suwiryo dan dr. Muwardi dari keamanan. Hari Jumat Legi, tepat pukul 10.00 WIB,
Sukarno dan Moh. Hatta keluar ke serambi depan, diikuti oleh Ibu Fatmawati.
Sukarno dan Moh. Hatta maju beberapa langkah. Sukarno mendekati mikrofon untuk
membacakan teks proklamasi.
Acara berikutnya adalah pengibaran bendera Merah Putih
yang dilakukan oleh Latief Hendraningrat dan S. Suhud. Bersamaan dengan naiknya
bendera Merah Putih, para hadirin secara spontan menyanyikan lagu Indonesia
Raya tanpa ada yang memimpin.
Setelah itu, Suwiryo memberikan sambutan dan kemudian
disusul sambutan dr. Muwardi. Sekitar pukul 11.00 WIB, upacara telah selesai.
Kemudian dr. Muwardi menunjuk beberapa anggota Barisan Pelopor untuk menjaga
keselamatan Sukarno dan Moh. Hatta.
REAKSI RAKYAT INDONESIA DAN PENYEBARAN BERITA
KEMERDEKAAN
Berita Proklamasi
Kemerdekaan Indonesia cepat bergema ke berbagai daerah. Rakyat di Jakarta maupun di kota-kota lain
menyambut dengan antusias. Karena
alat komunikasi yang terbatas, informasi ke daerah-daerah tidak secepat di Jakarta. Saat tersiarnya berita
tentang Proklamasi Kemerdekaan, banyak
rakyat Indonesia yang tinggal jauh dari Jakarta tidak mempercayainya.
Pada tanggal 22
Agustus, Jepang akhirnya secara resmi mengumumkan penyerahannya kepada Sekutu.
Baru pada bulan September 1945, Proklamasi diketahui di wilayah-wilayah yang terpencil. Sesaat setelah itu,
timbullah segera masalah kesetiaan. Keempat penguasa
kerajaan yang ada di Jawa Tengah
menyatakan dukungan mereka kepada Republik, yaitu Yogyakarta, Surakarta, Pakualaman, dan Mangkunegaran.
Euforia revolusi
segera mulai melanda negeri ini, khususnya kaum muda yang merespon kegairahan dan tantangan
kemerdekaan. Para komandan pasukan Jepang di daerah-daerah sering kali meninggalkan wilayah perkotaan dan menarik mundur pasukan ke daerah pinggiran
guna menghindari konfrontasi. Banyak
yang bijaksana memperbolehkan pemuda-pemuda Indonesia memperoleh senjata. Antara tanggal 3-11
September, para pemuda di Jakarta mengambil alih kekuasaan atas stasiun-stasiun kereta api, sistem
listrik, dan stasiun pemancar radio tanpa mendapat
perlawanan dari pihak Jepang. Pada akhir bulan September, instalasi-instalasi penting di Yogyakarta,
Surakarta, Malang, dan Bandung juga sudah berada di
tangan para pemuda Indonesia. Selain
itu, juga terlihat adanya semangat revolusi di dalam kesusasteraan dan kesenian. Surat-surat kabar dan majalah
Republik bermunculan di berbagai daerah, terutama di Jakarta, Yogyakarta, dan Surakarta. Aktivitas
kelompok sastrawan yang bernama “Angkatan 45”,
mengalami masa puncaknya pada zaman
revolusi. Lukisan-lukisan modern juga mulai berkembang pesat di era revolusi.
Proklamasi
kemerdekaan akan disebarluaskan melalui radio, tetapi Jepang menentang upaya penyiaran tersebut, dan malah
memerintahkan agar para penyiar
meralat berita proklamasi sebagai sesuatu kekeliruan. Tampaknya para penyiar tetap tidak mau memenuhi seruan
pihak Jepang. Oleh karena itu, pada
tanggal 20 Agustus 1945 pemancarnya disegel dan para pegawainya dilarang masuk. Mereka kemudian membuat
pemancar baru di Menteng 31.
Di samping melalui siaran radio, para wartawan juga menyebarluaskan berita proklamasi melalui media cetak,
seperti surat kabar, selebaran, dan penerbitan-penerbitan yang lain.
Tanggal 3 September
1945, para pemuda mengambil alih kereta api termasuk bengkel di Manggarai. Tanggal 5 September
1945, Gedung Radio Jakarta dapat
dikuasai. Tanggal 11 September 1945, seluruh Jawatan Radio berhasil dikuasai oleh Republik. Oleh karena itu,
tanggal 11 September dijadikan hari
lahir Radio Republik Indonesia (RRI). Para pemuda memprakarsai diadakannya rapat raksasa di Lapangan Ikada (sekarang Monas). Rapat yang digagas oleh
para pemuda dan mahasiswa yang
tergabung dalam “Kesatuan van Aksi”, untuk melakukan rapat raksasa di lapangan Ikada, yang semula digagas
tanggal 17 September 1945, mundur
menjadi 19 September 1945. Presiden Sukarno sudah dihubungi dan
bersedia akan menyampaikan pidato di dalam rapat raksasa pada tanggal 19 September 1945. Sejak pagi, rakyat Jakarta
sudah mulai berdatangan dan
memenuhi Lapangan Ikada. Rapat itu untuk memperingati sebulan kemerdekaan Indonesia.
Rakyat dari berbagai
penjuru dengan tertib berdatangan ke Lapangan Ikada dengan membawa poster dan bendera merah-putih. Mereka menuntut kebulatan tekat untuk mengisi
kemerdekaan Indonesia. Dan juga
bertekad untuk menunjukkan pada dunia internasional bahwa kemerdekaan Indonesia bukan atas bantuan Jepang, akan
tetapi merupakan tekad seluruh rakyat
Indonesia.
Melihat tekad rakyat
yang menggelora dan tidak dapat dihalangi meskipun oleh tentara Jepang sekalipun, pemerintah
terdorong untuk mengadakan sidang
kabinet. Setelah itu, diputuskan Presiden Sukarno dan Moh. Hatta dan para menteri untuk datang ke Lapangan
Ikada. Pada kesempatan itu Sukarno
menyampaikan pidatonya yang disambut dengan gegap gempita oleh rakyat. Rapat itu berlangsung tertib dan
damai.
Tanggal 19 Agustus 1945 Sri Sultan Hamengkubuwana IX dan Sri Paku Alam VIII telah mengirim kawat ucapan selamat
kepada Presiden Sukarno dan Wakil
Presiden Moh. Hatta atas berdirinya Negara Republik Indonesia dan atas terpilihnya dua tokoh tersebut sebagai
Presiden dan Wakil Presiden. Ucapan selamat itu tersirat bahwa Sultan
Hamengkubuwana IX dan Paku Alam VIII mengakui kemerdekaan RI dan siap membantu mereka. Kemudian, pagi itu sekitar pukul 10.00 tanggal 19 Agustus 1945
Sri Sultan Hamengkubuwana IX
mengundang kelompok-kelompok pemuda di bangsal kepatihan.
Kemudian untuk
mempertegas sikapnya, Sri Sultan Hamengkubuwana IX dan Sri Paku Alam VII pada tanggal 5
September 1945 mengeluarkan amanat antara lain sebagai berikut.
1. Negeri Ngayogyakarta Hadiningrat bersifat kerajaan dan merupakan daerah istimewa dari Negara Indonesia.
2. Sri Sultan sebagai kepala daerah dan memegang kekuasaan atas Negeri Ngayogyakarta Hadiningrat.
3. Hubungan antara Negeri Ngayogyakarta Hadiningrat dengan Pemerintah Pusat Negara RI bersifat langsung.
Sultan selaku Kepala Daerah
Istimewa bertanggung jawab kepada Presiden.
KEADAAN POLITIK
SETELAHNYA
·
Pengesahan UUD 1945 dan Pemilihan Presiden dan
Wakil Presiden
Setelah proklamasi,
PPKI melakukan rapat pertama di Pejambon (sekarang dikenal
sebagai gedung Pancasila). Sekitar pukul 11.30, sidang pleno dibuka. Sebelum
konsep itu disahkan, atas prakarsa Moh. Hatta, berdasarkan pesan dari tokoh
Kristen dari Indonesia bagian Timur, sila pertama dasar negara yang tercantum
dalam pembukaan UUD 1945 yang berbunyi “Ketuhanan dengan kewajiban
menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”, diubah menjadi
“Ketuhanan Yang Maha Esa”. Rumusan itu telah dikonsultasikan Hatta kepada
pemuka Islam seperti, Ki Bagoes Hadikusumo, Wahid Hasyim, Kasman
Singodimedjo, dan Tengku Moh. Hasan. Pertimbangan itu diambil karena
suatu pernyataan pokok mengenai seluruh bangsa tidaklah tepat hanya
menyangkut identitas sebagian dari rakyat Indonesia sekalipun merupakan
bagian yang terbesar. Berdasarkan rumusan tersebut, maka Pancasila
secara resmi ditetapkan sebagai dasar negara oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia, 18 Agustus 1945. Serta perubahan kecil pada istilah dan
strukturnya.
·
Pembentukan
Departemen dan Pemerintahan Daerah
Sidang PPKI dilanjutkan
kembali pada tanggal 19 Agustus 1945. Acara yang pertama adalah membahas hasil kerja Panitia Kecil yang
dipimpin oleh Otto Iskandardinata. Sebelum acara dimulai, Presiden Sukarno
ternyata telah
menunjuk Ahmad Subarjo, Sutarjo Kartohadikusumo dan Kasman Singodimejo
sebagai Panitia Kecil yang ditugasi merumuskan bentuk departemen
bagi pemerintahan RI, tetapi bukan personalianya (pejabatnya). Otto
Iskandardinata menyampaikan hasil kerja Panitia Kecil yang dipimpinnya. Hasil
keputusannya tentang pembagian wilayah NKRI menjadi delapan provinsi,
yaitu sebagai berikut.
a. Jawa Tengah
b. Jawa Timur
c. Borneo (Kalimantan)
d. Sulawesi
e. Maluku
f. Sunda Kecil
g. Sumatra
Di samping delapan
wilayah tersebut, masih ditambah Daerah Istimewa Yogyakarta dan
Surakarta. Setelah itu, sidang dilanjutkan mendengarkan laporan
Ahmad Subarjo, mengenai pembagian departemen atau kementerian. Adapun
hasil yang disepakati, NKRI terbagi atas 12 departemen sebagai berikut.
a. Kementerian Dalam
Negeri
b. Kementerian Luar Negeri
c. Kementerian Kehakiman
d. Kementerian Keuangan
e. Kementerian Kemakmuran
f. Kementerian Kesehatan
g. Kementerian Pengajaran
h. Kementerian Sosial
i. Kementerian Pertahanan
j. Kementerian Penerangan
k. Kementerian Perhubungan
l. Kementerian Pekerjaan Umum
·
Pembentukan
Badan-Badan Negara
PPKI kembali mengadakan
sidang pada tanggal 22 Agustus 1945. Dalam sidang ini, diputuskan mengenai pembentukan Komite Nasional
Seluruh Indonesia
dengan pusatnya di Jakarta. Komite Nasional dibentuk sebagai penjelmaan
tujuan dan cita-cita bangsa Indonesia untuk menyelenggarakan kemerdekaan
Indonesia yang berdasar kedaulatan rakyat. KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat) diresmikan dan
anggota-anggotanya dilantik pada tanggal 29 Agustus 1945. Pelantikan ini
dilangsungkan di gedung Kesenian Pasar Baru, Jakarta. Sebagai ketua KNIP adalah
Mr. Kasman Singodimejo, dengan beberapa wakilnya, yakni Sutarjo Kartohadikusumo, Mr.
Latuharhary, dan Adam Malik.
Tanggal 16 Oktober 1945, diselenggarakan sidang KNIP yang
bertempat di Gedung Balai Muslimin Indonesia, Jakarta. Sidang ini dipimpin
oleh Kasman Singodimejo. Dalam sidang ini juga diusulkan kepada Presiden
agar KNIP diberi hak legislatif selama DPR dan MPR belum terbentuk. Hal ini
dirasa penting, karena dalam rangka menegakkan kewibawaan kehidupan kenegaraan. Syahrir dan
Amir Syarifudin mengusulkan adanya BPKNIP (Badan Pekerja KNIP) untuk
menghadapi suasana genting. BPKNIP akan mengerjakan tugastugas operasional dari
KNIP. Berdasarkan
usul-usul dalam sidang tersebut, maka Wakil Presiden selaku wakil
pemerintah, mengeluarkan maklumat yang lazim disebut Maklumat
Wakil Presiden No. X. Bunyi maklumat itu sebagai berikut:
·
Pembentukan Kabinet
Presiden segera
membentuk kabinet yang dipimpin oleh Presiden Sukarno
sendiri. Dalam kabinet
ini para menteri bertanggung jawab kepada Presiden
atau Kabinet
Presidensiil.
Kabinet RI yang pertama
dibentuk oleh Presiden Sukarno pada tanggal 2
September 1945 terdiri
atas para menteri sebagai berikut.
a. Menteri Dalam Negeri: R.A.A.
Wiranata Kusumah
b. Menteri Luar Negeri: Mr. Ahmad
Subarjo
c. Menteri Keuangan: Mr. A.A.
Maramis
d. Menteri Kehakiman: Prof. Mr.
Supomo
e. Menteri Kemakmuran: Ir.
Surakhmad Cokroadisuryo
f. Menteri Keamanan: Rakyat
Supriyadi
g. Menteri Kesehatan: Dr.
Buntaran Martoatmojo
h. Menteri Pengajaran: Ki Hajar
Dewantara
i. Menteri Penerangan: Mr. Amir
Syarifuddin
j. Menteri Sosial: Mr. Iwa
Kusumasumantri
k. Menteri Pekerjaan
Umum: Abikusno Cokrosuyoso
l. Menteri Perhubungan: Abikusno
Cokrosuyoso
m. Menteri Negara: Wahid
Hasyim
n. Menteri Negara: Dr. M.
Amir
o. Menteri Negara: Mr. R.M.
Sartono
p. Menteri Negara: R. Otto
Iskandardinata
·
Pembentukan Berbagai Partai Politik
Sidang
PPKI pada tanggal 22 Agustus 1945 juga memutuskan adanya pembentukan partai politik nasional yang kemudian
terbentuk PNI (Partai Nasional
Indonesia). Partai ini diharapkan sebagai wadah persatuan pembinaan politik bagi rakyat Indonesia. BPKNIP mengusulkan
perlu dibentuknya partaipartai politik, yang kemudian
ditindaklanjuti oleh Wakil Presiden dengan maklumat pada tanggal 3 Nopember 1945. Setelah
dikeluarkan maklumat itu,
berdirilah partai-partai politik di NKRI. Beberapa
partai politik yang kemudian terbentuk misalnya :
a.
Masyumi, berdiri tanggal 7 November 1945, dipimpin oleh dr Sukiman
Wiryosanjoyo
b.
PKI (Partai Komunis Indonesia) berdiri 7 November 1945 dipimpin oleh Mr. Moh. Yusuf. Oleh tokoh-tokoh komunis, sebenarnya
pada tanggal 2 Oktober 1945 PKI telah didirikan.
c.
PBI (Partai Buruh Indonesia), berdiri tanggal 8 November 1945 dipimpin oleh Nyono
d.
Partai Rakyat Jelata, berdiri tanggal 8 Nopember 1945 dipimpin oleh Sutan Dewanis
e.
Parkindo (Partai Kristen Indonesia), berdiri tanggal 10 November 1945 dipimpin oleh Dr Prabowinoto
f.
PSI (Partai Sosialis Indonesia), berdiri tanggal 10 November 1945 dipimpin Amir Syarifuddin
g.
PRS (Partai Rakyat Sosialis), berdiri tanggal 10 November 1945 dipimpin oleh Sutan Syahrir
h.
PKRI Partai Katholik Republik Indonesia), berdiri tanggal 8 Desember 1945
i.
Persatuan Rakyat Marhaen Indonesia, berdiri tanggal 17 Desember 1945 dipimpin oleh JB Assa
j. PNI (Partai Nasional Indonesia), berdiri tanggal 29 Januari 1946. PNI merupakan penggabungan dari Partai Rakyat Indonesia (PRI), Gerakan Republik Indonesia, dan Serikat Rakyat Indonesia, yang masing-masing sudah berdiri dalam bulan November dan Desember 1945.
BAB III
PENUTUP
SIMPULAN
Berdasarkan uraian
bahasan “ Proklamasi Kemerdekaan Indonesia “ dapat disimpulkan bahwa :
Peranan Ir. Soekarno, Drs. Mohammad Hatta dan seluruh
bangsa Indonesia dalam memperjuangkan kemerdekaan sangat penting sebagai bagian
dari sejarah bangsa ini.Semua nilai-nilai yang terkandung dalam memperjuangkan
kemerdekaan Republik ini harus di maknai dan diwariskan kepada generasi
penerus.Jadikan Peringatan Kemerdekaan Republik Indonesia sebagai penguat rasa nasionalisme dalam jati diri bangsa.
DAFTAR PUSTAKA
Buku Sejarah Indonesia Kelas XI Semester 2 Kurikulum 2013 Terbitan 2014
http://makalahsejarahproklamasi.blogspot.co.id/
http://furotul29.blogspot.nl/2013/10/makalah-latar-belakang-dan-perjuangan.html
0 komentar:
Post a Comment